MINAHASA, Narasinews.co.di – Komite Pemilih Indonesia (TePI) Sulawesi Utara (Sulut) menggelar Focus Group Discussion (FGD), di Rogers Hotel Manado, kamis (1/6/2023).
TePi Sulut membahas soal konsolidasi demokrasi ditengah hiruk pikuk sistem Pemilu.
Tampil sebagai narasumber Dr Tommy Sumakul yang membedah aspek hukum. Pengamat politik, Karel Najoan dari sisi perspektif sosial politik kemasyarakatan.
Namun sebelumnya Koordinator Nasional TePI, Jeirry Sumampow serta Peneliti senior TePI Dr Jeirry Wuysang yang sebelumnya menjabat Koordinator TePI Sulut memberikan pengantarnya dalam diskusi yang ikut dihadiri kelompok cipayung, oraganisai pegiat pemilu, dan organiasi kemahasiswaan.
Koordinator Provinsi TePi Sulut, Grendy Tangkuman mengatakan bahwa pembahasan sistem pemilu tertutup atau terbuka sedang pada puncaknya. Hal itu sebagai dampak dari isu kuat Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan Sistem proporsional tertutup.
“Kami melihat bahwa memang ada banyak persoalan yang muncul dalam sistem Pemilu terbuka. Karena konstestasi yang ketat, persaingan panas memperebutkan kursi, baik caleg antar partai maupun caleg satu partai,” kata Tangkuman.
Belum lagi dengan konflik horisontal sangat tinggi, ruang praktik politik uang yang massif. Sehingga kader partai militan tak berduit bisa kalah dengan figur entah dari mana asal punya modal dan masih banyak persolan umum lainnya. Tetapi, persoalan-persoalan tersebut, tidaklah lantas mengubah sistem Pemilu dari terbuka menjadi tertutup.
Sehingga menurut Dia, TePI berpendapat bahwa penguatan kapasitas dan tensi pengawasan dapat jadi solusi berbagai persoalan sebagai dampak sistem pemilu terbuka yang bebas itu.
Intsrumen-instrumen pengawasan penyelenggara Pemilu harus efektif dan efisien mencegah soal-soal negatif yang mungkin muncul dimasyarakat. Dan yang tidak kalah pentingnya civil society. Karena peran masayarakat sipil itu harus nyata dan berdampak.
“Sekarang banyak organisasi pegiat maupun pemantau Pemilu harus aktifkan dan efektifkan. Pendidikan pemilih dan literasi politik penting digalakan. Dan itu peran dari NG0-NGO, civil society maupun organisasi pegiat Pemilu lainnya” tambah Dia.
Dia juga mengatakan bahwa menjadi tantangan tersendiri bagi pemantau Pemilu terkait program-program pemantauan dan pendidikan politik pemilih. Dan hal itu itu tidak gampang.
Tetapi mereka yakin kalau punya tekad kuat untuk kawal dan jaga Pemilu ini sehat, bersih, jujur dan adil. Maka semua stakeholder wajib ikut serta dalam upaya-upaya pengawasan dan pemantauan yang sifatnya partisipatif.
“Faktor legalitasnya juga sebenarnya jadi poin penting pertanyaan publik, mengapa MK yang memutuskan sistem terbuka pada pemilu 2009 silam. Lalu akan memutuskan kembali ke tertutup pada Pemilu 2024 ini,” tambah Tangkuman.
Dia menegaskan pula bahwa MK merupakan lembaga yang menguji Undang-Undang apakah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD). Karena kalau misalnya Pemilu 2009 MK memutus sistem terbuka. Maka dalilnya tentu yang tertutup tidak sejalan dengan nafas UUD.
“Nah sekarang kalau kembali ke tertutup, maka dimana logika hukumnya? TePi melihat bahwa public lebih menginginkan sistem terbuka agar demokrasi jalan dengan lanjar dan sehat. Terbuka bagi siapa saja, peluang sama besar bagi kontestan pemilu, ini poin penting kontemplasi kita dalam momentum hari lahir Pancasila 1 Juni 2023 ini,” pungkas Grendy yang juga adalah Korwil X Sulut Gorontalo PP GMKI 2021-2023. (ABa)